RONNY LUKITO, Tak Bisa Kuliah Sukses Dibisnis

Roni Lukito
Ronny Lukito mungkin tidak menyangka berbagai merek tas produksinya kini dikenal secara luas. Kuncinya ternyata kerja keras, tidak mudah putus asa dan terus belajar. >Erika Putri
Jalan hidup mungkin memang tak bisa ditebak. Dan nasib bisa saja berbalik. Dulu, hidup tidak berkecukupan tapi siapa yang bisa menyangka nasib kedepan?? Itulah yang dialami Ronny Lukito, pengusaha tas lokal yang me­rek-merek tasnya seperti Eiger, Export, Neosack, Bodypack, Nordwand, Morphosa, World Series, Extrem, Vertic, Domus Danica, Broklyn dan lainnya sudah dikenal secara nasional bahkan dunia.

Ronny Lukito, kelahiran Bandung 15 Januari 1962 merupakan  pengusaha tas yang memiliki perusahaan bernama B&B Incorporations (B&B) Inc., yang bergerak di dalam bidang pembuatan tas, fashion dan aksesoris. Lahir dan besar di Bandung, Ronny merupakan lelaki satu-satunya dan anak ketiga dari pasangan Lukman Lukito dan Kumiasih, dari enam bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan. Keluarganya dikenal bukan orang berada.

Kedua orang tuanya merantau ke Bandung pada tahun 1953, kemudian mereka membuka usaha berjual tas dan memiliki toko kecil disana. Barang yang dijual adalah sebagian besar produk dari perusahaan lain dan ada beberapa produk hasil sendiri.
Semenjak bersekolah di STM Rony sudah terbiasa berjualan susu yang dibungkus dengan plastik-plastik kecil, diikat dengan karet, kemudian susu tersebut ia jual kerumah-rumah tetangganya dengan menggunakan sepeda motor miliknya.

“Saya masih ingat pada waktu itu orangtua saya punya toko kecil berukuran 2,5 x 14 m. Toko tersebut diberi nama Nam Lung, khusus menjual tas. Itu satu-satunya toko di Kota Bandung yang khusus menjual tas. Waktu itu kebanyakan pedagang membuka toko kelontong yang jual macam-macam barang. Jadi jarang yang hanya jual satu macam barang seperti ayah saya,” kenang Ronny.

Tas-tas yang dijual toko ayah Ronny merupakan produk-produk dari perusahaan lain dan ada juga hasil jahitan sendiri. Waktu itu orangtuanya hanya punya satu mesin untuk membuat tas. Saat masih remaja sebenarnya Ronny tak berpikiran untuk menjadi pengusaha. Ayahnya pun tak pernah mengarahkan Ronny agar menjadi pengusaha.

Di tahun 1976, ketika Ronny duduk di bangku STM, toko ayahnya tersebut mulai menjual tas hasil karya sendiri. Saat itu merek tas produknya bernama Butterfly. Nama ini diambil dari merek mesin jahit buatan Cina yang mereka pakai. Ronny membantu membeli bahan ke toko tertentu atau mengantarkan barang dagangan ke pelanggan mereka. Sebelum berangkat sekolah, Ronny tetap berjualan susu. Setelah pulang sekolah, Ronny kerja di bengkel motor sebagai montir.

Selepas lulus STM ia berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke bangku kuliah. Tetapi karena mengetahui bahwa kondisi ekonomi orangtuanya yang tidak mampu membiayainya maka ia memendam keinginannya untuk kuliah dan terus membantu orang tuanya.
Jualan tas karyanya sendiri makin berkembang. Beruntung, ia mampu mempekerjakan tukang jahit yang sudah terpercaya kualitas jahitannya, yaitu Mang Uwon. Setiap kali ada ide, Ronny menjelaskan secara lisan dan goresan sederhana dikertas kepada Mang Uwon. Nantinya, Mang Uwon yang akan menerjemahkan ide ke dalam bentuk tas yang sudah jadi. Kalau sudah cocok, baru kemudian diproduksi secara masal.

Ronny tak menampik, di awal usaha, ia banyak mengambil ide dari tas Jayagiri, yang saat itu tengah ngetren.“Saya bukan meniru. Saya hanya mengambil kreasinya saja, lalu dimodifikasi sesuai dengan kemampuan dan selera saya,” ujarnya.
Agar berbeda dengan produk milik sang ayah, Ronny memberi merek Exxon untuk tas produksinya. “Waktu itu, saya pikir merek Exxon sangat bagus. Keren!” kata dia. Nama itu ia dapatkan dari sebuah buku milik kawannya yang baru pulang dari AS.

Bagi Ronny, merek Exxon memiliki peruntungan cukup bagus. Terbukti, omzet perusahaan yang berada di Jalan Saad, Bandung itu terus melonjak. Dari semula hanya dua karyawan, menjadi 100 karyawan. Begitu juga mesin jahit, dari dua menjadi 100. Semuanya berjalan sesuai perkiraan hingga pada 1982/1983, Ronny tak ingat pasti, ia menerima sepucuk surat dari Amerika Serikat.

Ternyata, Exxon Mobil Corporation, perusahaan minyak asal AS, mengajukan komplain ke pihak Ronny karena menggunakan nama Exxon untuk merek tas tanpa seizin mereka. Tak mau ambil risiko, Ronny pun mengalah. Ia lalu memilih nama baru, yakni Exsport. Menurut dia, nama itu berasal dari kata Exxon dan Sport. Tambahan kata “sport” itu, kata Ronny, menunjukkan bahwa produk tasnya cocok untuk kalangan muda yang sportif. Ia juga berharap tasnya bisa diekspor ke mancanegara.

Perlahan tapi pasti, usaha tas merek Exsport milik Ronny terus berkembang. Ronny terjun sendiri ke daerah-daerah untuk mencari mitra-mitra pengecer baru guna membuka pasar baru. Ia rajin keliling daerah. Ronny berangkat ke kota-kota lain untuk mempromosikan dan membangun jaringan pemasaran.

Walaupun masih dalam tahap awal memulai usaha, merasa tidak begitu menguasai pengetahuan dunia usaha dan pemasaran sehingga ia putuskan untuk menggunakan jasa seorang konsultan. Ronny banyak belajar secara privat mengenai pengetahuan manajemen dan juga mengambil kursus manajemen keuangan. Bila ada seminar atau kursus yang menurutnya bagus, Ronny juga berusaha untuk menghadirinya. Membaca buku-buku yang relevan untuk pengembangan diri juga terus dilakukan.

Setelah menikah tahun 1986, dia merekrut staf marketing profesional. Dengan perjuangan yang gigih dan tak mengenal lelah, dia mengetahui peluang pasar karena dia tahu persis luar dalam bisnis tas ini termasuk hal-hal di lapangan, dia tahu kendala apa saja dan lika-liku di lapangan.

Pada 1987, Ronny memindahkan pabrik dari jalan Saad ke Kopo. Hal ini harus dilakukan karena di tempat yang lama tak mampu memenuhi kapasitas jahitan. Pabrik yang baru ini luasnya 6.000 meter persegi, memiliki 400 mesin jahit, dan menampung 600-an karyawan. Kini, B&B Inc., memiliki empat pabrik tas dengan total luas pabrik 25.000 meter persegi, dan mempekerjakan sekitar 2.000 karyawan.

Untuk menjaga kualitas, ayah empat anak ini masih mendatangkan bahan baku dari Luar Negeri, persentasenya bahkan mencapai 75%. Produknya masih tergantung dengan impor. Sebab, untuk bahan baku tas, belum ada pemasok yang bagus di pasar lokal. Berbeda dengan industri garmen,misalnya. Akhirnya cita-cita Ronny untuk menjadi pemain terbesar di dalam bisnis tas tercapai.

Tak berhenti disitu, sekarang perusahaan Ronny juga sudah mem­produksi jenis lain seperti dompet, sarung handphone, dan berbagai jenis produk lain. Salah satu kebiasaan Ronny yang baik adalah kemauannya untuk belajar dan mengembangkan diri. Ia tak merasa malu atau gengsi untuk bertanya bila memang ia tidak tahu. Dengan cara inilah dia bisa berkembang dan sukses sampai sekarang.

Kini, perusahaan yang didirikannya sudah memiliki empat anak perusahaan, yaitu Eksonindo Multi Product Industry, perusahaan ini memproduksi ransel dan tas kasual bermerk Exsport, Eigerindo Multi Product Industry, menghasilkan produk yang berorientasi pada kegiatan petualangan dan alam bermerk Eiger, Eksonindo Multi Product Industry Senajaya, meluncurkan konsep produk baru yang bermerek Bodypack untuk menjangkau kalangan pelajar sampai eksekutif, khususnya tas pria dengan konsep “street gear”.

Tiap tahun, perusahaan milik Ronny mampu memproduksi hingga 2,5 juta tas dengan 8.000 desain yang berbeda. Tak cuma ransel, tapi ada juga tas casual, postman bag, hingga tas laptop. Hingga kini, perusahaan yang bertahan dari dua kali serangan krisisi ini mengaku menerapkan keuangan secara mandiri dan tidak ingin kredit dari perbankan.

Susahnya Menembus Pasar
Kesulitan tampaknya memang harus dilalui oleh pengusaha yang ingin sukses. Itu pulalah yang dialami Ronny Lukito. Tetapi produsen tas Exsport ini tidak putus asa. Dengan upaya keras, dia mencoba memasukkan tas buatan pabriknya ke jaringan ritel Matahari. Tapi apa yang dialaminya? Ternyata tas Rony harus mengalami penolakan hingga 13 kali. Tapi ia tak patah arang. Bahkan, ia berkeyakinan siap dipermalukan sebelum akhirnya menuai keberhasilan.

Tahun 1979, pengembangan bisnis tasnya ke Matahari mulai lancar. Meski hanya mendapatkan order sedikit Ronny kembangkan usahanya terus menerus. Ia belajar mendengar dan membaca produk apa yang diminati oleh pelanggan Matahari. Awalnya omzet totalnya di Matahari Rp 300 ribu sedangkan kompetitornya sudah jutaan rupiah. Awalnya pasar yang digarap adalah Bandung dan sekitarnya.

Kini, selain di Matahari, produk Rony juga tersedia di berbagai outlet modern seperti Toserba Ramayana, Robinson, dan berbagai hypermarket seperti Carrefour, hingga jaringan toko-toko buku seperti Gramedia dan Gunung Agung, belum lagi toko-toko dan grosir tradisional lainnya. Dari total produksinya, sekitar 10% dipasarkan ke mancanegara, seperti Singapura, Filipina, Jepang, Libanon, Kanada, Australia, dan Jerman.

Sumber : listrikindonesia.com
1 Komentar untuk "RONNY LUKITO, Tak Bisa Kuliah Sukses Dibisnis"

Back To Top